Sejarah Desa
Sejarah pembentukan pemerintahan desa pulau Tolonuo sudah dikenal sejak zaman kolonialisme Belanda dimulai. Bahkan beberapa manuskrip klasik tentang perjalanan Misionaris Kristen Katolik Portugis, Franciscus Xaverius dalam sebuah catatan harian, bahwa pada abad ke-16 terdapat pemerintahan yang disebut Sangaji Tolo bernama Makibo (Kibo) dengan pusat pemerintahan di bagian Utara Pulau Tolonuo.
Pulau Tolonuo didiami oleh penduduk yang menggunakan dua bahasa daerah. Bagian utara menggunakan Bahasa Galela, dan Bagian Selatan Pulau Toonuo menggunakan Bahasa Tobelo. Sedangkan komposisi agama Islam 85,71% (1500 jiwa), penganut Kristen Protestan 14,29 (250 jiwa) dari total 1750 penduduk. Sejak terbentuknya pemerintahan dari Masa ke masa, disebabkan oleh gesekan dan dinamika sosial politik, mengakibatkan desa ini dimekarkan menjadi 2 pemerintahan yakni desa induk berada di bagian Utara yang didominasi penduduk berbahasa Galela, dan desa pemekaran di Tolonuo Selatan yang menggunakan bahasa Tobelo. Jika dibandingkan maka komposisi penduduk data dilihat 65% Tolonuo Selatan Berbanding 35% Desa Induk. Tolonuo Selatan dihuni oleh mayoritas Muslim maupun penganut Nasrani. Sedangkan desa Tolonuo Induk dihuni mayoritas Islam, baik di kampong Tengah maupun kampong Tua (100% muslim).
Berdasarkan sensus penduduk seorang misionaris Kristen Protestan asal Belanda, J,M. Baretta tahun 1917, menunjukan bahwa Pulau Tolonuo berasal dari nama desa Folonoeu yang artinya pulau berbatu cadas. Hal ini dapat dilihat dari struktur pantai hampir separuh pulau dikelilingi oleh batu-batu cadas yang befungsi sebagai penahan ombak dan berfungsi mengurangi potensi abrasi pantai. Hasil penelitian Baretta pada tahun 1917 memberikan gambaran awal tentang jumlah penduduk 24 desa di kecamatan Tobelo, termasuk salah satunya ialah Tolonuo. Tolonuo di tahun 1917, sebagai desa berpenduduk terbesar kedua (Islam 152 jiwa, Kristen 25 jiwa dan Kafir/ belum beragama 299 jiwa dengan total 476 jiwa) Penduduk terbesar pertama adalah desa Gamsungi sebagai Ibukota Kecamatan (Hoofdlaats) dengan komposisi penduduk (Muslim 278 jiwa, Kristen 19 Jiwa, dan belum beragama 489 jiwa dengan total 786 jiwa). Kemudian disusul desa Kakara dan Meti di urutan 3 dan 4.
Namun, menurut penelusuran penulis terhadap beberapa desa-desa di luar pulau Tolonuo dapat disimpulkan bahwa beberapa penduduk berpindah tempat untuk membuka lahan pertanian karena tidak ada lagi lahan yang tersedia bagi pasangan rumah tangga yang baru. Perpindahan itu dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Bencana alam berupa letusan Dukono pada tahun 1920 mengakibatkan banyak penduduk yang mengungsi ke pulau-pulau terjauh seperti Halmahera Timur, Galela Pesisir (Galela Utara) kearah Tobelo Selatan maupun ke Pulau Morotai dan Loloda). Di desa Dodowo bagian utara pesisir Galela, hamper 60% penduduknya barasal dari eksodus penduudk Pulau Tolonuo yang beragama Islam dan berbahasa Galela.
Dengan mata pencaharian nelayan maupun petani, masyarakat Tolonuo tetap eksis di beberapa tempat baru. Misalnya, di Halmahera Timur, komunitas baru ini membentuk desa Tatama Nasarani dan Tatama Muslim sejak akhir tahun 1960-an. Demikian juga terpencar kearah utara sehingga membentuk desa. Hubungan kekerabatan tercipta melalui persaudaraan di daerah-derah baru. Hal tersebut dapat dilihat pada pola mempertahankan marga keluarga agar tidak terputus dengan asal muasal keturunan di negeri rantau. Asimilasi tetap berlangsung. Pada umumnya masyarakat Tolonuo yang telah berpindah tempat di daerah baru memiliki keyakinan baru dan semangat baru tentang tempat tinggal. Pada generasi tua lebih merasa sebagai warga masyarakat Tolonuo. Sementara anak dan cucu yang dilahirkan di tempat yang baru lebih merasa sebagai orang Tatama, Wawama, Togolion, Juanga, Gonga, Katana dan Dodowo namun memiliki perasaan yang sama dan mengenal asal negeri leluhurnya. Sampai saat penelitian ini berlangsung. generasi muda masih memiliki komitmen yang kuat tentang asal muasal keturunannya.
Pola hubungan dan komunikasi berlangsung dengan cara menikahkan anak-anaknya dengan laki-laki atau perempuan yang biasanya berasal dari sesame keturunan Tolonuo.
Usaha Baru tahun 1980-an. Komunitas Tolonuo muslim kemudian juga menyebar ke Tobelo Selatan dengan membentuk desa Togolioa akhir tahun 1970-an. Sedangkan komunitas Tolonuo Kristen membentuk desa Gonga di pesisir Tobelo Timur saat ini. Ketika perang dunia ke-2, karena menghindari kekejaman Tentara Dai Nipon Jepang. masyarakat Tolonuo melakukan eksodus besar-besaran ke Pulau Morotai sejak tahun 1944-sampai awal 1945. Eksodus itu dianggap terbesar sejak pasca letusan gunung berapi Dukono 1920. Pasca kemerdekaan, separuh penduduk Tolonuo yang berbahasa Tobelo itu memilih menetap di dekat Bandara 7 landasan Pacu Pulau Morotai yang dikenal dengan desa Wawama. Lokasi desa ini sebenarnya berada pada areal kebun Lemon, oleh bahasa Galela maupun Tobelo menyebut Wama, yang berarti Lemon.Selain para eksodus lainnya menyebar ke Desa Juanga dan Pandanga. Bahkan beberapa keluarga bermarga Lebe, Kondihi dan Abbas eksodus ke Desa Bere-Bere di Bagian Morotai Utara. Perpindahan ini merupakan pola untuk mempertahankan hidup di tengah sempitnya rasio luasnya pulau dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Jika dijumlahkan seluruh jumlah penduduk Tolonuo, baik di pulau Tolonuo maupun di luar, maka hampir mencapai angka 6000 jiwa pilih.